Abu Ibrahim bercerita, Suatu
ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana
kutemukan sebuah kemah lawas. Kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di
dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang.
Ternyata orang ini kedua
tangannya buntung, matanya buta, dan sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat
bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat.
Aku mendekat untuk mendengar
ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:
الحَمْدُ
لله الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً .. الحَمْدُ
للهِ الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَق تَفْضِيْلاً ..
Segala puji bagi Allah yang
melebihkanku di atas banyak manusia… Segala puji bagi Allah yang melebihkanku
di atas banyak manusia…
Aku heran mendengar
ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh. Ternyata sebagian besar
panca inderanya tak berfungsi. Kedua tangannya buntung, matanya buta, dan ia
tidak memiliki apa-apa bagi dirinya.
Kuperhatikan kondisinya
sambil mencari adakah ia memiliki anak yang mengurusinya? Atau isteri yang
menemaninya? Ternyata tak ada seorang pun.
Aku beranjak mendekatinya,
dan ia merasakan kehadiranku. Ia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”
“Assalaamu’alaikum… aku
seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini” jawabku, “Tapi kamu sendiri
siapa?” tanyaku.
“Mengapa kau tinggal seorang
diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, dan kerabatmu? lanjutku.
“Aku seorang yang sakit,
semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal”
jawabnya.
“Namun kudengar kau
mengulang-ulang perkataan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas
banyak manusia!! Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu,
sedangkan engkau buta, faqir, buntung kedua tangannya, dan sebatang kara?!?”
ucapku.
“Aku akan menceritakannya
kepadamu. Tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?”
tanyanya.
“Jawab dulu pertanyaanku,
baru aku akan mengabulkan permintaanmu” kataku.
“Engkau telah melihat
sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah
yang melebihkanku di atas banyak manusia. Bukankah Allah memberiku akal sehat,
yang dengannya aku bisa memahami dan berfikir?”
“Betul” jawabku. lalu
katanya: “Berapa banyak orang yang gila?”
“Banyak juga” jawabku. “Maka
segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia” jawabnya.
“Bukankah Allah memberiku
pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan
mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya.
“Iya benar”, jawabku. “Maka
segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut”
jawabnya.
“Betapa banyak orang yang
tuli tak mendengar?” katanya.
“Banyak juga” jawabku. “Maka
segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut”,
katanya.
“Bukankah Allah memberiku
lisan yang dengannya aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” tanyanya.
“Iya benar” jawabku. “Lantas
berapa banyak orang yang bisu tidak bisa bicara?” tanyanya.
“Wah, banyak itu” jawabku.
“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb”
jawabnya.
“Bukankah Allah telah
menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya, mengharap pahala dari-Nya, dan
bersabar atas musibahku?” tanyanya.
“Iya benar” jawabku. lalu
katanya: “Padahal berapa banyak orang yang menyembah berhala, salib, dan
sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat!!”
“Banyak sekali”, jawabku.
“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut”
katanya.
Pak tua terus menyebut
kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu. Dan aku semakin takjub dengan
kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap
pemberian Allah.
Betapa banyak pesakitan
selain beliau, yang musibahnya tidak sampai seperempat dari musibah beliau.
Mereka ada yang lumpuh, ada yang kehilangan penglihatan dan pendengaran, ada
juga yang kehilangan organ tubuhnya. Tapi bila dibandingkan dengan orang ini,
maka mereka tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan
menangis sejadi-jadinya. Mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap
balasan Allah atas musibah yang menimpa mereka, padahal pahala tersebut
demikian besar.
Aku pun menyelami pikiranku
makin jauh, hingga akhirnya khayalanku terputus saat pak tua mengatakan:
“Hmmm, bolehkah kusebutkan
permintaanku sekarang, maukah kamu mengabulkannya?”
“Iya. apa permintaanmu?”
kataku.
Maka ia menundukkan
kepalanya sejenak seraya menahan tangis. Ia berkata: “Tidak ada lagi yang
tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 14 tahun. Dia lah yang
memberiku makan dan minum, serta mewudhukan aku dan mengurusi segala
keperluanku. Sejak tadi malam ia keluar mencari makanan untukku dan belum
kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan
kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja. Dan kamu tahu sendiri
keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak bisa mencarinya”.
Maka kutanya ciri-ciri anak
tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan bocah
tersebut untuknya. Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana mencari bocah
tersebut. Aku tak tahu harus memulai dari arah mana.
Namun tatkala aku berjalan
dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si bocah, nampaklah olehku dari
kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah si pak tua. Di
atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yang mengerumuni sesuatu. Maka
segeralah terbetik di benakku bahwa burung tersebut tidak lah berkerumun
kecuali pada bangkai, atau sisa makanan.
Aku pun mendaki bukit
tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.
Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas dengan badan
terpotong-potong. Rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan
sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung.
Aku lebih sedih memikirkan
nasib pak tua dari pada nasib si bocah. Aku pun turun dari bukit, dan
melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam. Haruskah
kutinggalkan pak Tua menghadapi nasibnya sendirian. Ataukah kudatangi dia dan
kukabarkan nasib anaknya kepadanya?
Aku berjalan menujuk kemah
pak Tua. Aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana? Lalu
terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalaam. Maka kutemui pak
Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan seperti saat
kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yang malang ini demikian
rindu ingin melihat anaknya, ia mendahuluiku dengan bertanya: “Di mana si
bocah?”
Namun kataku: “Jawablah
terlebih dahulu… siapakah yang lebih dicintai Allah: engkau atau Ayyub
‘alaihissalaam?”
“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam
lebih dicintai Allah” jawabnya.
“Lantas siapakah di antara
kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.
“Tentu Ayyub…” jawabnya.
“Kalau begitu, berharaplah
pahala dari Allah karena aku mendapati anakmu telah tewas di lereng gunung. Ia
diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya” jawabku.
Maka pak Tua pun
tersedak-sedak seraya berkata: “Laa ilaaha illallaaah…” dan aku berusaha
meringankan musibahnya dan menyabarkannya. Namun sedakannya semakin keras
hingga aku mulai menalqinkan kalimat syahadat kepadanya, hingga akhirnya ia
meninggal dunia. Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut
yang ada di bawahnya. Lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku
mengurus jenazahnya.
Maka kudapati ada tiga orang
yang mengendarai unta mereka… nampaknya mereka adalah para musafir, maka
kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku. Kukatakan: “Maukah kalian
menerima pahala yang Allah giring kepada kalian? Di sini ada seorang muslim
yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yang mengurusinya. Maukah kalian
menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”
“Iya..” jawab mereka.
Mereka pun masuk ke dalam
kemah menghampiri mayat pak Tua untuk memindahkannya. Namun ketika mereka
menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak: “Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”.
Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi waktu silih
berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat
dalam sebuah kemah lusuh. Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan
menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah.
Malamnya aku bermimpi
melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah. Ia mengenakan gamis putih dengan
badan yang sempurna. Ia berjalan-jalan di tanah yang hijau. Maka aku bertanya
kepadanya:
“Hai Abu Qilabah… apa yang
menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”
Maka jawabnya: “Allah telah
memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:
( سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار
)
Salam sejahtera atasmu
sebagai balasan atas kesabaranmu… maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat
kembali
[Kisah ini diriwayatkan oleh
Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian]
0 komentar:
Posting Komentar